Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 September 2021

Bintang

 Hello Everyone, How are you guys? Long time no see. Maaf sudah jarang ngobrol padahal udah janji sama diri sendiri mau buat postingan sebulan sekali, tapi masih belum bisa terpenuhi juga. Sorry. Kali ini balik dengan cerita pendek baru wohoo. hopefully you enjoy this. Ini adalah cerpen pertama yang selesai dan ditulis sedikit ada tekniknya. Masih belajar sih. semoga kalian suka sama cerpen ini ya, dan jangan lupa untuk tetep jaga kesehatan kalian.


***

Source: https://www.hitched.co.uk/

Hanya satu nama yang aku pikirkan saat situasi seperti ini. Dia adalah Bintang. Pacarku, yang mungkin sudah sangat bosan mendengarkan curhatku. Namun senangnya, dia tetap mendengarkannya. ‘enggak kok, aku ga bosen, malah aku seneng dengerin ocehan kamu’ jawabnya setiap kali aku tanyakan apakah dia tidak bosan selalu mendengarkan curahan hati dan emosi ku. Beruntunglah aku memiliki pasangan sepengertian dia, dan lagi ada saja tingkahnya yang selalu bisa membuatku tersenyum. Disinilah kami, Bukit Semesta, sebenarnya bukan itu Namanya, namun kami menamai nya seperti itu. Bukit Semesta adalah tempat dimana kami sering menghabiskan waktu bersama hanya untuk melihat langit malam dengan hiasannya yang sangat cantik. Aku sangat menyukai pemandangan ini, sangat menenangkan buatku.

Sesampainya aku di Bukit Semesta, benar saja dugaanku. Bintang ada disana. Aku disambut dengan senyumannya yang manis itu. Aku membalas tersenyum. Dengan Langkah yang sedikit berat aku berjalan dan duduk dibawah pemandangan bintang yang sangat jelas. Setelahnya aku menjatuhkan tubuhku, memejamkan mataku sejenak. Bintang tidak berbicara. Hening suasana saat ini. Aku menarik nafasku panjang dan membuka mataku, aku melihat ke arah Bintang dan dia melihat kearahku. Aku masih terdiam. ‘Bi..’ panggilku. Bintang masih menatapku, menunggu aku memulai pembicaraan. Begitulah dia, dia mengerti orang yang disayangnya ini sedang berada dalam situasi yang kurang baik. Dia dengan sabarnya akan menunggu gadisnya siap untuk bercerita.

‘Bi..’ panggilku lagi kepada Bintang, dan dia tetap diam.

‘Rasanya aku mau kabur aja dari dunia..’

Suaraku sudah mulai bergetar ‘Aku merasa sepertinya memang udah engga ada lagi tempat untuk pulang, rasanya aku sudah lelah harus menjalani hidup seperti ini’ Aku mulai bercerita. Aku menceritakan hal yang selalu membuatku merasa berat dan tidak nyaman. Bintang sudah pasti bisa menebaknya, masalah apa yang sedang aku alami saat ini.

Aku mengingat kembali bagaimana situasinya saat itu. Aku pulang kerumah dari lelahnya bekerja berharap bisa beristirahat sambil melanjutkan drama yang belum selesai kutonton. Baru saja aku sampai depan rumah aku sudah mendengar suara teriakan dari pasangan yang ada di dalam rumah. Iya, pasangan itu adalah orang tuaku. Sudah lebih dari 10 tahun aku mengalami situasi seperti ini. Ada saja yang dipermasalahkan mereka, entah masalah kecil atau besar, ada saja suara kencang dan kata – kata kotor yang terdengar. Kali ini yang dipermasalahkan adalah hubungan antara Ayahku dengan perempuan yang baru saja dipacarinya. Aku mengumpat ‘dasar laki – laki enggak tau diri, bisa – bisanya Ia berbuat seperti itu kepada istri dan anaknya. Sungguh tega.’ Aku mulai menangis, yang lebih menjengkelkan dari semua ini adalah, Ibuku selalu bilang kepada Aku, bahwa Aku tidak boleh membenci Ayah. Aku harus tetap menghormatinya sebagai Ayah. Bagaimana bisa aku berbuat seperti itu, jika melihat ibuku diperlakukan dengan tidak baik. Aku tidak bisa tidak membencinya.

Ini semua tidak adil, aku merasa dalam hubungan Ibu dan Ayahku, Ibuku yang selalu harus terus berjuang. Ibuku yang selalu harus terus bertahan. Seperti yang selalu dikatakan oleh Nenek dan Ibuku berulang- ulang kali kepadaku ‘jadi perempuan harus kuat, bila nanti ada kejadian yang tidak diinginkan kita bisa hidup dan bertahan’ Aku sangat muak dengan perkataan seperti itu, kenapa harus selalu perempuan yang menjadi kuat dan bertahan. Memang sih perempuan harus mandiri, tapi kalo alasannya karna takut akan terjadi sesuatu yang menyakitkan, aku rasa bukan itu alasan yang tepat untuk perempuan menjadi mandiri. Aku gamau jadi kuat kalo begitu, Aku gamau jadi seperti ibuku yang terluka dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Tangisku mulai tidak terkontrol dan biasanya jika sudah dalam situasi seperti ini Bintang selalu memelukku, dan mencium kepala ku. Perlakuannya selalu membuatku membaik.

Aku sebelumnya memang tidak tertarik dengan sebuah hubungan, apalagi dengan hubungan yang terikat, aku tidak mau mengalami hal yang sama seperti Ibu dan Ayahku. Mereka telah membuat trauma didalam hidupku. Namun pikiranku berubah setelah bertemu dengan Bintang. Aku bertemu Bintang sekitar 5 tahun lalu.

Kami bertemu disebuah halte. Saat itu hujan turun. Aku sedang menunggu bus dihalte dan ada beberapa orang yang juga menunggu hujan berhenti. Saat itu keadaan halte sudah mulai rusak dengan atap yang bocor, aku mencoba berdiri diatas atap yang tidak bocor. Sama halnya dengan Bintang. Disana kami berkenalan. Sambil menunggu hujan berhenti kami mengobrol. Uniknya lagi adalah di halte yang sama, dihari yang berbeda aku bertemu lagi dengannya. Sepertinya semesta sudah mengatur ini semua. Semesta membuatku mematahkan ketakutan yang ku percaya. Semakin lama aku mengenal Bintang semakin aku menaruh hati padanya. Aku merasa Bintang adalah sosok yang sangat berbeda dari Ayahku. Bintang mematahkan opini bahwa laki – laki di dunia tidak sama semua. Aku jatuh cinta kepadanya.

Setelah mengingat bagaimana aku bertemu dan bersama dengan Bintang, aku menatap langit, aku berteriak. ‘Bawa aku pergi bersamamu Bintang’ Tangisku semakin menjadi.

Sekarang sudah tidak adalagi orang yang akan memelukku disaat aku seperti ini. Aku frustasi. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak mengerti orang yang aku paling sayang, tempat dimana aku bisa berkeluh - kesah, harus direnggut semesta satu tahun lalu. Mengapa semesta terlalu jahat sampai – sampai orang yang menjadi alasan aku bertahan hidup harus diambil. Dengan siapa lagi aku harus berkeluh kesah, dengan siapa lagi aku harus menjalani hidup yang gelap ini.

Sudah setahun aku berjuang menjalani hidup tanpa Bintang, nyatanya hidupku kembali ka masa saat aku belum bertemu dengan Bintang. Aku kembali ke hidupku yang kelam, hanya saja hidup kali ini sedkit berbeda, kenangan bersama Bintang yang masih melekat, yang semakin memberatkanku menjalani hidup. Aku butuh sosok Bintang, bukan kenangannya. Masih dalam keadaan menangis Aku menatap bintang yang ada dilangit berharap Bintangku mendengarkan dan menguatkanku dari sana.




continue reading Bintang

Sabtu, 29 September 2018

Secangkir Kopiku

Cerita pendek jebolan pertama gua. Semoga bisa menghibur kalian ya. Selamat membaca😊

Secangkir Kopi

Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan, manajerku marah besar karna penjualan kami menurun drastis, semua pegawai dituntut bekerja lebih keras lagi dan lagi. Untuk sedikit menghilangkan lelahku, saat jam pulang kantor nanti, aku ingin mampir sebentar ke kedai kopi tak jauh dari kantor. Sudah lama memang kedai itu berdiri namun belum sekalipun aku menginjakkan kaki disana.
Kedai terlihat ramai, aku sempat mematung sejenak untuk memastikan yakinkah aku untuk menyegarkan sejenak pikiranku disini. Satu detik setelah aku memutuskan pilihan, aku melangkahkan kakiku menuju kedai tersebut, satu langkah berikutnya langkahku terhenti bersamaan dengan melintasnya lelaki pengendara Vespa memasuki parkiran kedai tersbut. Ia mengangguk, mungkin untuk perilakunya yang menghentikan langkahku, aku pun tersenyum membalas anggukannya.
Satu langkah memasuki pintu masuk kedai tersebut, aku mengambil napas panjang...
Kedai ini sangat menenangkan walopun ramai pengunjung, ku rasa aku kan sering kesini.
Saat melihat menu yang terpampang di atas counter, ternyata pilihan menu kopi disini bisa terbilang lengkap. Aku suka. Ugh. Sudah kali keberapa aku memuji tempat ini sebelum kurasakan racikan kopi baristanya. Bisa dibilang aku telah jatuh hati dengan kedai senyaman ini.
Senyum merekah di wajahku, ku pejamkan sejenak mataku menikmati nyamannya kedai ini, seberapa hebat pemilik kedai ini sehingga bisa membuat kedai senyaman ini, pemiliknya senyaman kedainya kah? Satu pertanyaan asal yang tiba tiba meluap dikepala. Sedang menikmati tempat ini, tiba - tiba seseorang menepuk bahuku. Aku tersadar. Ternyata aku sudah tepat berada di depan counter, aku menoleh kebelakang sejenak untuk meminta maaf atas sikapku yang membuat antrian tertunda.
Saat ku menoleh hanya ada satu lelaki berdiri tepat di belakangku, yang aku rasa sama dengan pengendara Vespa itu.
"maaf ya mas" maafku, kali ini dia yang hanya tersenyum membalas permintaan maafku.
Lelaki ini mulai menanyakan ku pesananku. Apa urusanya Ia menanyakan pesananku? Apa dia sedang merayuku atas perlakuannya tadi? Apa Ia tidak paham balasan senyumku yang artinya telah memaafkan perilakunya. Sesungguhnya aku malas meladeni lelaki seperti dia yang terlihat seperti anak kuliahan yang memanfaatkan Wifi kedai untuk mengerjakan tugasnya.
Aku segera memesan kopi favoritku. Macchiato. Aku mengedarkan pandangan untuk mencari tempat yang paling nyaman, dan aku menemukannya. Aku duduk di pojok samping jendela besar yang menyajikan pemandangan jalan.
Pesananku datang, ternyata yang mengantar Macchiato ku adalah lelaki Vespa itu. Aku tersenyum, karena kini ku tahu dia berada disini bukan untuk mengerjakan tugas kuliahnya, melainkan bekerja. Namun ada yang berbeda darinya dengan pekerja lain. Seragamnya.
Dia tidak memakai seragam seperti yang lainnya. Ia hanya mengenakan kaos hitam yang dibalut dengan jaket serta celana jeans dan sepatu old schoolnya, benar benar seperti anak kuliahan.
Setelah menaruh Macchiatoku di atas meja. Ia memperkenalkan dirinya
"kenalin gue Gio"
"Karina.."
"Maaf untuk kejadian di depan"
"Gapapa, santai aja... kok engga pake seragam?"
"Ohh... engga, gue yang punya kedai ini"
Aku terdiam sejenak.
"Lo lebih terlihat seperti anak kuliahan yang mau nugas sih, dibanding orang yang punya kedai ini, hahaha"
aku tertawa, dia juga.
"Boleh duduk?"
"Silahkan.."
Kami terlibat obrolan panjang, cerita seputar pekerjaannya yang ternyata perusahaan tempat Ia bekerja merupakan salah satu klien perusahaanku, hahaha, dunia terasa sempit. Ku akui Gio bukan orang yang membosankan, sama seperti kedainya.
Kedua kalinya Macchiato yang ku pesan di kedai Gio, masih dengan rasa yang sama, sangat jauh dari kata kecewa dekat dengan kata nikmat. kedua kalinya pula aku bertemu Gio dan terlibat obrolan menarik. Kali ini aku melihat sisi yang lain dari Gio. DIa sosok yang manis. Bukan wajahnya tapi sikapnya. Mungkin aku menyukainya seperti aku menyukai kedainya, Aku nyaman bersama dengannya.
Ketiga, keempat, kelima, keenam, dan entah sudah berapa puluh kali aku berkunjung ke kedai Gio dan mengobrol dengannya, kami sudah menjadi teman baik, kami juga sudah bertukar nomor telepon sejak kali ke-enam aku berkunjung ke kedainya, Aku mengetahui sisi lain lagi dari Gio, Ia sangat jail dan sesekali bisa dibilang dewasa, walopun jika kalian melihat tingkahnya dan penampilannya, dewasa merupakan hal yang sangat jauh terlihat, tapi aku akui Ia pintar menempatkan diri, aku merasa kami semakin dekat, aku telah jatuh hati.
Ini kali ke-sembilan puluh aku berkunjung ke kedai Gio. Namun seharian ini Gio tidak ada kabar sama sekali. Bahkan untuk mengirim kan kata- kata romantis khas anak Sekolah Menengah pun tidak. Biasanya pagiku terhibur oleh kata romantis Khas anak Sekolah Menengah itu. Hahaha.
Macchiato ku sudah setangah cangkir ku minum, namun Gio belum menampakkan batang hidungnya. Aku menunggu...
Hingga tetesan Macchiato ku yang terakhir, Gio belum menampakkan dirinya, Aku pamit. Tidak lupa menitipkan pesan kepada DImas, rekan seperbisnisan kedai Gio, setelahnya..
Aku Pulang.
Kali ke-seratus. Gio masih belum ada kabar. Kemana Gio? Satu pertanyaan yang sampai saat ini belum terpecahkan olehku. Mungkin ini adalah Macchiatoku yang terhambar. Walopun jika dirasakan rasanya tidak berubah, hanya saja ketiadaan pemilik kedainya yang membuat Macchiato ini terasa hambar.
Dimas pun bungkam saat ku tanya rekannya berada dimana atau setidaknya bagaimana keadannya?
Pertanyaan lain timbul, Apa salahku?
Tahukah kalian di bagian mana kesalahanku?
Jika saja aku memiliki waktu sebanyak secangkir kopi bersama dengan GIo untuk yang terakhir kali, mungkin itu adalah kopi paling berharga yang aku minum.
Gio, apa salahku? Bagaimana keadaanmu?
Mengapa kau pergi disaat dirimu telah memenuhi secangkir kopiku?
-TAMAT-

continue reading Secangkir Kopiku